Redaktur MCR: Wisata Melayu, Juga Bahari yang Disebut Mama
Bakar tongkang di bagansiapi-api
BUDAYA Melayu adalah budaya bahari, yang juga disebut budaya kelautan. Kehidupan yang berabad-abad mereka tempuh, menyebabkan budaya ini menjadi sangat terbuka. Beragam puak dan suku bangsa mendatangi daerah Melayu, kemudian berbaur dan berintegrasi turun temurun, hingga akhirnya melahirkan masyarakat Melayu yang majemuk.
Budayawan Tengku Nasyaruddin Effendy (Tenas Effendy) merangkum kalimat tentang sejarah Melayu itu dalam bukunya berjudul; "Nilai-nilai Asas Jati Diri Melayu". Laut itu dipanggil "Mama", dan "Papa" adalah daratan yang terbentang, secuil, disebut Riau.
Ulasan sejarah "Mama" dan Papa" yang dituangkan Alm Tenas Effendy agaknya tidak bisa dilepaskan dari ragam wisata berbasis budaya dan bahari yang ada sejak berpuluh tahun, dan terus dilaksanakan secara turun temurun oleh sebagian masyarakat pesisir.
Salah satunya adalah upacara bakar tongkang di Bagansiapiapi, Rokan Hilir (Rohil). Tradisi ini memiliki daya tarik yang luar biasa, dilakukan oleh masyarakat Tionghoa di kabupaten yang terletak di pesisir Riau. Bakar tongkang sudah menjadi tradisi, bahkan gaungnya telah mendunia dan menjadi salah satu aset wisata nasional dengan budaya bahari yang memesona.
Tradisi Leluhur
Menurut ahli sejarah, ritual bakar tongkang merupakan tradisi leluhur yang bertujuan untuk memuja Dewa Laut yang telah menyelamatkan para leluhur saat melarikan diri dari Provinsi Fujian, Tiongkok, saat dilanda kerusuhan. Saat itu Indonesia belum merdeka. Dan para leluhur ketika itu mengarungi lautan yang disebut "Mama", sebelum akhirnya bersandar di daratan sang "Papa".
Saat ritual, tak henti-hentinya para warga Tionghoa ini memanjatkan doa untuk dewa-dewa yang telah menyelamatkan para leluhur mereka saat melarikan diri dari Provinsi Fujian, Tiongkok pada 1883 lalu. Leluhur mengarungi lautan yang membentang luas.
Salah satu dewa yang dihormati warga Tionghoa ini adalah Dewa Ki Ong Ya atau Dewa Laut. Saat melarikan diri, patung Dewa Ki Ong Ya dibawa oleh para leluhur ke atas kapal. Kemudian saat kapal mereka terombang ambing di lautan tak tentu arah tujuan, belasan imigran Tiongkok yang berada di atas kapal berdoa dan tiba-tiba kapal mereka mendarat di Kota Bagansiapiapi.
Lalu oleh para leluhur, kapal kayu tersebut dibakar agar tidak bisa balik ke negeri asal mereka, dan mereka bersumpah bahwa Bagansiapiapi merupakan penganti tanah leluhur mereka, "Mama" yang kini telah menjadi sumber kehidupan turun-temurun.
Sejak itu pula, setiap tahun pada bulan Juni, yang bertepatan dengan penanggalan Imlek tanggal 15 dan 16 bulan kelima atau Go Cap Lak, tradisi bakar tongkang diselenggarakan tepat di tepian laut pesisir Riau.
Sebelum tongkang diarak dan dibakar, lebih dahulu diletakkan di salah satu klenteng terbesar di Bagansiapiapi, para warga Tionghoa lalu berdoa sambil membakar hio dan lilin-lilin besar. Setelah itu, baru tongkang diarak keliling kota menuju tempat pembakaran.
Replika kapal yang terbuat dari kayu dan kertas dibakar di atas tumpukan kertas doa, di dalam kapal juga terdapat replika patung Dewa Ki Ong Ya. Saat kapal ludes terbakar dimakan api, puluhan ribu warga Tionghoa menantikan arah jatuhnya tiang kapal.
Jika tiang kapal jatuh kerah laut, maka mereka percaya jika rezeki pada tahun ini datang dari arah laut atau nelayan dan jika tiang jatuh ke arah daratan, maka rezeki datang dari daratan atau bertani.
Laut itu Mama
Laut yang disebut "Mama" oleh Alm Sejarawan Tenas Effendy sebelumnya merupakan "ladang" penghasilan luar biasa sektor maritim. Bahkan sejarah mencatat, Bagansiapiapi sempat menjadi salah satu daerah penghasil ikan terbesar di dunia.
Berdasarkan laporan surat kabar De Indische Mercuur, pada 1928 Bagansiapiapi berada di urutan kedua di dunia sebagai penghasil ikan. Sementara kota penghasil ikan tertinggi di dunia pada masa itu adalah Bergen, Norwegia.
Menurut catatan, dalam setahun, ikan hasil tangkapan dari Bagansiapiapi mencapai sekitar 150.000 ton. Hasil perikanan tangkap baik dalam bentuk ikan segar, ikan asin, udang kering, dan terasi itu dijual ke berbagai daerah serta diekspor ke beberapa negara. Dalam buku Kota-kota di Sumatra (2012), M Subhi Azhari menuliskan pada era 1930-an, Bagansiapiapi pernah mencatat rekor sebagai penghasil ikan dalam jumlah 300.000 ton per tahun.
Praktis wilayah ini memiliki pelabuhan paling ramai di Nusantara. Tak sulit meniagakan hasil ikan tersebut. Karena kota ini berada di Selat Malaka, sebuah jalur kapal niaga dunia yang sangat ramai. Bagansiapiapi juga berbatasan dengan Singapura dan Malaysia. Di saat banyak kota lain masih berjuang menyejahterakan penduduknya di bawah kolonialisme Belanda, Bagansiapiapi malah telah menjelma menjadi kota modern. Dulu.
Bayangkan, pada 1934 misalnya, di sana telah tersedia berbagai fasilitas, di antaranya pembangkit tenaga listrik, fasilitas pengolahan air minum, unit pemadam kebakaran, dan lain-lain. Selain itu, fasilitas galangan kapal tradisional juga mudah dijumpai di sana. Di malam hari, kota ini bermandikan cahaya listrik. Tak ada gelap menyelimutinya. Justru keelokan dan keeksotikan di senja hingga petang hari menampilkan pesonanya. Itulah mengapa Bagansiapiapi mendapat julukan Kota Cahaya (Ville Lumiere).
Industri galangan kapal tradisional tumbuh seperti jamur di musim penghujan. Kapal-kapal penangkap ikan buatan pengrajin Bagansiapiapi banyak digunakan nelayan, baik di dalam negeri (Jawa, Nusa Tenggara, dan Maluku) maupun di luar negeri, seperti Sri Lanka, India, dan Amerika. Para nelayan tradisonal dan asing menyukai beragam perahu penangkap ikan berkapasitas hingga 300 gross ton yang didesain mampu menembus samudra luas.
Jauh setelah Indonesia merdeka, terselip beberapa catatan sejarah yang ditorehkan Bagansiapiapi. Bahkan pada buku pelajaran di sekolah dasar, Bagansiapiapi masih tercatat sebagai penghasil ikan terbesar di Indonesia. Kondisi tersebut terjadi sekitar tahun 1980.
Lalu, bagaimana situasinya kini? Sebagai kota yang tadinya penghasil ikan terbesar di dunia, nama Bagansiapiapi seolah mulai dilupakan. Hal ini sesuai dengan fakta di lapangan. Pada 2000–2003 misalnya, produksi tangkapan ikan merosot menjadi sekitar 70.000 ton per tahun. Bahkan pada 2004, angka tersebut menyusut drastis hingga sekitar 33.000 ton.
Banyak hal yang menyebabkan menurunnya produksi ikan, di antaranya lingkungan yang mulai tak ramah. Penebangan hutan di hulu telah menimbulkan pendangkalan di bagian muara sungai. Banyak kawasan pantai juga mengalami pendangkalan akibat lumpur dan endapan sedimen yang dibawa Sungai Rokan. Kondisi ini mengakibatkan udang dan ikan tak mampu bertahan pada habitat perairan yang kotor. Pendangkalan sungai dan pantai juga menyulitkan nelayan menyandarkan perahunya di pelabuhan.
Seiring dengan itu, penyebab lain merosotnya hasil tangkapan ikan adalah berkurangmya jumlah nelayan, yakni hanya sekitar 40 orang. Efek domino lainnya usaha galangan kapal tradisional juga muram lantaran sulit untuk mendapatkan bahan baku kayu. Singkat kata, kedigdayaan Bagansiapiapi mulai meredup.
Dan kini, tersisa wisata berbasis budaya, juga mendunia. Bakar tongkang setidaknya mengingatkan dunia tentang kejayaan maritim Bagansiapiapi diera sebelum kemerdekaan. Bahari sebagai "Mama" yang diharapkan mampu mengembalikan sejarah itu di masa modern.
Tuhan mereka di Lamalera adalah Mama sang samudera yang memberikan hidup kepada mereka. Bona juga mengisahkan bagaimana mereka bernyanyi memohon kepada "Mama" untuk meredakan amukan laut karena sanak keluarga dan orang kampung sudah menunggu.
Teriakan itu disambut oleh pemerintahan saat ini. Pusat dan daerah menyatukan komitmen untuk mengembalikan kejayaan Bagansiapiapi lewat program maritim. Semuanya berawal dari ulasan sejarah, wisata dan budaya bahari.
Masyarakat Bagansiapiapi berurat akar dari tradisi dan budaya. Sehingga pembangunan wisata berbasis budaya bahari juga akan memperkuat karakter masyarakat bahari itu sendiri. Kembalilah kejayaan Bagansiapiapi. Semoga!
Oleh Fazar Muhardi (redaktur Mediacenter.riau.go.id)
Editor :Tim NP