Home >> Pendidikan
SEKIRA 600 orang guru mata pelajaran muatan lokal Budaya Alam Minangkabau (BAM) untuk tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Lanjutan Menengah Pertama (SLTP) di Sumatera Barat kini tak lagi mengajar.
Mereka adalah tenaga terdidik dan terlatih dalam pengetahuan budaya suku tersebut yang sebelumnya telah diseleksi dan disiapkan oleh Lembaga Kerapatan Adat Alam Minangkabau (LKAAM) Sumatera Barat.
Menurut Ketua LKAAM Sumatera Barat M Sayuti Datuak Rajo Pangulu, ratusan guru BAM itu tak lagi beraktivitas karena tidak punya ruang untuk mengajar di sekolah-sekolah di provinsi ini.
"Hal itu sejak tidak ada lagi ruang untuk BAM yang menjadi salah satu pelajaran dalam muatan lokal, sehingga banyak guru-guru yang dipersiapkan tidak lagi mengajar," katanya.
Ia mengatakan dari data saat ini ada lebih kurang 400 orang guru BAM di tingkat SD, dan 200 orang guru BAM di SMP yang tidak lagi mengajar tersebut.
Padahal, menurutnya sejak 1994 di Sumatera Barat sudah disepakati beberapa mata pelajaran masuk dalam muatan lokal di sekolah-sekolah. Kesepatan itu bahkan dihadiri oleh Menteri Pendidikan pada masa itu Fuad Hasan.
Ia menjelaskan beberapa mata pelajaran dalam muatan lokal yang disepakati itu adalah materi BAM, Baca Tulis Alquran, Baca Tulis Arab Melayu, Keterampilan Kesenian Minangkabau dan Keterampilan Pertanian Minangkabau. Semua mata pelajaran yang disepakati itu mulai diterapkan pada sekolah-sekolah di Sumatera Barat sejak 1995 namun berakhir dalam beberapa tahun ini.
Padahal dalam kesempatan ini pemerintah pusat hanya mengalokasikan waktu pada kurikulum untuk pengajaran muatan lokal, sedangkan teknis pengajarannya akan disusun oleh masing-masing daerah.
"Untuk mata pelajaran muatan lokal yang akan diajarkan tidak diatur oleh pusat, dan dibiarkan diatur oleh masing-masing daerah, karena kearifan lokal setiap tempat di Indonesia berbeda-beda," ujarnya.
Ia juga mengharapkan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengakomodir kearifan lokal dengan memberi ruang mengajarkannya di sekolah.
Datuak Rajo Pangulu menilai kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaam saat ini tidak berpihak kepada pendidikan kearifan lokal, seperti di Sumatera Barat yang masih kuat kearifan lokalnya.
Salah satu bukti ketidakberpihakan itu adalah dengan tidak adanya ruang untuk mengajarkan adat dan budaya Minangkabau pada kurikulum sekolah di daerah ini. Ia menyarankan agar pemerintah pusat cukup menyediakan ruang saja untuk pengajaran muatan lokal ini, dan teknisnya akan disesuaikan oleh daerah.
Menurut dia saat ini sekolah merupakan salah satu media untuk pengajaran adat oleh para tokoh adat kepada generasi muda melalui pelajaran muatan lokal.
"Pada zaman dahulu pengajaran adat ini bisa dilakukan di surau maupun di rumah gadang (rumah adat), tetapi sekarang media pendidikannya adalah sekolah formal," kata dia.
Tiap-tiap daerah di Indonesia memiliki kearifan lokal masing-masing, dan pemerintah seharusnya mengakomodir keberagaman yang ada.
"Indonesia terkenal dengan keberagaman budaya, pemerintah seharusnya mengakomodir keberagaman tersebut bukannya menyeragamkan," katanya.
Menanggapi masalah ini Dinas Kebudayaan Sumatera Barat melalui Kasi Adat dan Nilai-nilai Tradisi Shaparman mengatakan, penguatan terkait nilai-nilai adat dan budaya Minangkabau bisa disiasati oleh pihak sekolah untuk mengadakan kegiatan ekstrakurikuler.
"Pada sekolah-sekolah umum juga harus ada penguatan tentang adat dan budaya Minangkabau, salah satunya dengan mengadakan ekstrakurikuler yang berhubungan dengan hal itu," ujarnya.
Pendidikan tentang kebudayaan memang harus diajarkan sejak dini sehingga ketika dewasa mereka akan mengenal jati diri sebagai orang Minang, tambahnya.
Sekolah Alam Minangkabau menampik kegalauan tak lagi mengajarnya para guru BAM, justru telah ada aktivitas Sekolah Alam Minangkabau yang mengajarkan budaya setempat. [Posmetro]