Apresiasi atas kepedulian Bupati Siak, Syamsuar ikut mendukung dan mengangkat budaya dan tradisi Melayu, Komunitas Tanjak Siak menghadiahi bupati sebuah Tanjak Dendam Tak Sudah. Baliho sosialisasi Tanjak juga kini ramai terlihat di Kota Siak Sri Indra Pura.
Kini Tanjak sudah cukup dikenal masyarakat luas, khusunya di Siak. Tak hanya bupati, Gubernur Riau juga sudah dihadiahi Tanjak oleh Komunitas Tanjak Siak sewaktu berkunjung ke sana.
Tanjak juga dikenal dengan sebutan Tengkolok. Dulunya orang Melayu biasa mengenakan tanjak begitu meninggalkan rumah. Fungsinya sebagai penutup kepala dari gangguan udara maupun ranting jika pergi ke kebun. Awalnya berbentuk ikat biasa, namun oleh orang Melayu dahulu yang aktif dibidang gerak tangan muncul kreasi bentuk dengan nama tanjak. Kita pun biasanya melihat ikat kepala tersebut hanya sewaktu ada helat perkawinan atau upacara resmi adat budaya Melayu.
Bukan hanya di Siak, beberapa waktu lalu, di provinsi tentangga, secara resmi Gubernur Jambi juga membuat aturan agar para aparatur sipil negara setempat memakai Tanjak, sebagai pelestaraian tradisi dan budaya setempat.
Jika melihat model atau jenis Tanjak yang dipakai seseorang, maka tak semuanya sama modelnya. "Kalau kita mau memilih dan memakai tanjak sebenarnya itu tergantung kenyaman kita memakainya," jelas Alwindra, Ketua Komunitas Tanjak Siak, awal Maret lalu.
Hasil perbincangan bagian pengkajian Komunitas Tanjak Siak dengan Hamdan Saili, Tokoh Adat Siak, bahwa model atau jenis tanjak diperkirakan ada 42 jenis nama. Namun yang baru berhasil dihimpun ada 12 nama; Dendam Tak Sudah, Elang Menyusur Angin, Pial Ayam, Tebing Runtuh, Sarang Krenggo, Solok Timbo, Kacang dua Helai Daun, Pucuk Pisang, Elang Mata Sayap, Dendam Birahi, Ayam Patah Kepak, Ketam Budu, Sudu Itik, dan Belalai Gajah. Adapun yang tengah dan sering diproduksi dan dikembang pengrajin di bawah binaan Komunitas Tanjak Siak ada empat, Elang Menyusur Angin, Dendam Tak Sudah, Pucuk Pisang dan Pial Ayam.
"Karena model ikatannya simpel, Dendam tak Sudah dan Pucuk Pisang pada umunya yang terlihat biasa dipakai," tutur Jon Efendi, Pembina Komunitas Tanjak Siak.
Menurut Jon, Tanjak dianggap lambang kewibawaan di kalangan masyarakat Melayu. Semakin tinggi dan kompleks bentuknya, menunjukkan semakin tinggi pula status sosial si pemakainya. Tanjak biasa dipakai masyarakat melayu diseluruh lapisan strata sosial, baik di lingkungan kerajaan yaitu kalangan bangsawan maupun masyarakat awam.
Maka strata sosial pemakai Tanjak sebenarnya bisa dibedakan dari lenggek atau lapis ikatan Tanjak itu sendiri. Lenggek yang dimaksud adalah lapis ikatan dari dalam ke luar atau dari bawah ke atas.
"Kalau satu atau tiga untuk orang awam, lima menandakan ia berada di lingkungan kerajaan, kalau tujuh lenggek untuk raja," jelas Jon.
Menurut Ketua Majelis Kerapatan Adat Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Siak Zulkifli ZA, Warna Tanjak juga dibatasi, karena itu warna kuning merupakan warna kebesaran bagi orang Melayu, khusus untuk raja, maka Tanjak warna kuning tidak boleh dipakai orang awam. Sedangkan arah ikatan, Tanjak mayarakat awam dari kanan ke kiri, dan untuk raja dari kiri ke kanan. Hal ini bermaksud sebagai pembeda dan bermakna kebijakan raja diharapkan selalu di kanan yang melambangkan kebaikan.
Zulkifli menuturkan warna tanjak adat biasanya berwarna hitam, dan untuk pengantin disesuaikan dengan pakaian. “Dan biasanya ikat Tanjak bagi pengantin itu ikat hangtuah, namun sekarang banyak yang meniru ikat Dendam Tak Sudah yang populer di Malaysia,” ujarnya awal Februari lalu.
Untuk mengembangkan Tanjak ini, Komunitas Tanjak Siak terus mendukung para pengrajin untuk berinovasi. Untuk membuat motif-motif kekinian yang simpel dan lebih modis agar mudah diterima anak muda.
Di lain hal, pengurus Komunitas Tanjak Siak akan meminta warkah LAMR Kabupaten Siak, untuk memberikan petunjuk dalam memaki tanjak, baik untuk pemakai ataupun waktu yang tepat dipakai. (piramidnews)